Desa Sepahat ( 02/05/2016) Bengkalis, tripriau.com – Pantai Sepahat, jam menunjukkan pukul tiga sore. Matahari kian condong ke barat. Kondisi pantai sedang surut, dan tampak jelas horison pantai.
Saya mulai bergerak menuju bibir pantai. Saat mulai menjejakkan kaki di pantai, saya mulai ragu. Apakah kaki saya akan kesulitan melangkah di pantai karena substrat lumpur ciri khas pantai timur Sumatera.
Dua tahun yang lalu memang saya pernah kesini dan mulai terbayang kesulitan yang saya hadapi kala itu ketika akan melangkah.
Ternyata semua bayangan kesulitan melangkahkan kaki dipantai lumpur sama sekali tidak terjadi. Kini substrat atau landasan lumpur hampir tidak terlihat lagi. Hanya hamparan pasir yang tampak mendominasi sepanjang mata memandang.
‘’Pantainya sekarang semakin indah, lumpurnya sudah tidak ada lagi,’’ sahabat saya Ahmad Fitriansyah (23) tiba-tiba berseloroh dengan nada sedikit menyindir akan kondisi pantai ini. Saya pun hanya bisa tertawa kecil.
Sahabat saya ini memang telah banyak tahu tentang kondisi mangrove. Bahkan pernah melakukan penelitian tentang tingkat kerusakan mangrove yang ada di Riau.
Dengan latar belakang pengalaman sahabat saya tersebut, saya pun mulai bertanya kepadanya tentang jenis pohon mangrove yang tampak tersisa di pantai ini. “Bukankah ini pohon Api-api?”
“Benar, ini memang pohon api-api, tumbuhan mangrove yang berada dizonasi terdepan,” jawabnya.
Pohon Api-api atau dengan nama ilmiahAvicennia alba, satu diantara vegetasi penyusun hutan mangrove. Memang berada digaris terdepan untuk menghadang derasnya ombak dan angin disepanjang garis pantai. ”Namun, kondisi pantai ini cukup kritis,” ucapnya lagi.
Saya pun bertanya kembali mengapa kondisinya cukup kritis? “Kondisinya kritis karena normalnya untuk kawasan mangrove itu minimal terdapat dua zonasi, dan panjang antara garis pantai ke peralihan mangrove gambut minimal 500 meter,” jelasnya.
Mungkin bagi orang awam pantai ini tampak lebih indah karena lumpur hitam telah hilang dan berganti pasir. Ini sama sekali tidak seindah yang terlihat. Disatu sisi hal tersebut merupakan kemunduran ekologis pantai ini. Substrat lumpur tempat vegetasi mangrove menancapkan akarnya kini telah hilang.
Hilangnya lumpur sangat menyulitkan bagi tumbuhan mangrove untuk beregenerasi, karena sumber nutrien mangrove berasal dari substrat lumpur. “Untuk anakan mangrove akan sulit tumbuh pada pasir karena mudah hanyut di sapu ombak,” Ahmad menjelaskan lagi.
Hilangnya substrat lumpur di Pantai Sepahat disebabkan berbagai macam faktor, baik alami maupun dampak dari aktivitas manusia. “Secara alami karena tidak adanya aliran sungai dari darat dan kurangnya tumbuhan mangrove yang akarnya mengikat substrat lumpur,”. Terangnya.
Ahmad juga menerangkan, pembangunan turap disepanjang Pantai Sepahat secara tidak langsung mempengaruhi hilangnya substrat lumpur. “Adanya turap di pantai ini memutus aliran subtrat lumpur, karena substrat lumpur berasal dari daratan,” katanya lagi.
Tak hanya di Pantai Sepahat, abrasi di pantai sepanjang Pantai Timur Sumatera memang tampak begitu jelas adanya.Menurut beberapa penelitian terakhir, bahwasannya pantai timur Sumatera terus mengalami abrasi yang cukup hebat, belasan meter tiap tahunnya.
Ahmad juga menambahkan “Perlu upaya restorasi untuk menormalkan kondisi mangrove yang ada di Pantai Sepahat”. Hal ini untuk mencegah terjadinya abrasi semakin meluas di Pantai Sepahat.
Pantai Sepahat berada di Desa Sepahat, Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Dari Ibukota Pro
vinsi Riau, Kota Pekanbaru, dapat ditempuh sekitar 6-7 jam perjalanan darat.
Penulis: Abdul Ronny
Editor: Rio Sunera
sumber : tripriau.com